Sebelumnya saya udah niat mau baca buku ini buat liburan. Pertama,
karena udah lama banget ga baca novel. Kedua, karena kesan temen-temen yang
udah baca buku ini hampir sama: lucu, sedih, haru jadi satu.
Ternyata rencana baca buku ini untuk mengisi
liburan, malah berubah. Saya jadi mengisi waktu (dari jam 12 siang sampe jam 7
malam) menunggu kedatangan adik saya di bandara dengan membaca buku ini.
Syukurlah saya berinisiatif membawa buku ketika liburan :D
Bab-bab awal menceritakan bagaimana Matt dan Liz
bertemu, merangkai cinta, hingga akhirnya menikah, dan Liz hamil. Semuanya
diceritakan dengan kocak oleh Matt. Bagaimana dia menyelipkan lelucon garing
ketika Liz mengomelinya, bagaimana dia berubah dari orang yang pesimis menjadi
orang yang optimis ketika Liz terpuruk dan putus asa dengan keadaannya yang
harus menjalani tirah-baring selama lima bulan. Semua diceritakan dengan 'asik'
oleh Matt.
Plot berubah menjadi lebih tegang ketika Maddy
(panggilan untuk Madeline) lahir prematur dan selang 27 jam kemudian Liz
meninggal karena eboli paru tanpa sempat menggendong bayi cantiknya. Bab ini
cukup membuat perasaan campur aduk. Antara gembira akhirnya Maddy bisa lahir dengan
selamat, namun sedih karena ibunya harus meninggalkan bayi mungil yang cantik
ini tanpa sempat menggendongnya. Ya, bagian ini cukup membuat mata saya
berkaca-kaca dan hati menjadi terenyuh :'( (yang akhirnya segera berusaha
menghilangkannya karena ingat lagi ada di bandara, heuheu..)
Rasa haru muncul lagi ketika Matt dengan
tegarnya memilihkan daftar lagu yang harus diputar untuk pemakaman Liz kemudian
menuliskan perasaan terdalamnya dengan cara yg begitu gamblang (hal. 164).
Apalagi ketika ia berusaha untuk tidak menangis saat mengucapkan salam
perpisahan untuk Liz di depan teman-temannya (meskipun akhirnya tangisnya
tumpah).
Membayangkan kehilangan orang yang kita cintai
untuk selama-lamanya saja, saya ga pernah mau. Ditambah harus mengasuh bayi
yang masih merah seorang diri. Matt benar, yang ada di kepala setiap orang
adalah 'aku sangat senang itu bukan suami/istriku'.
(hal. 148)
Namun, di balik kegalauannya, Matt tetap
berusaha keras menjadi ayah yang hebat bagi Maddy. Cara dia menghadapi Maddy
yang tiba-tiba muntah di kaosnya dengan sukses. Bagian di mana dia menceritakan
cara menyiasati celana Maddy yang kebesaran ketika berpergian naik pesawat, sukses
membuat saya tersenyum. Bagaimana dia mengesampingkan dorongan
obsesif-kompulsif pra-bayinya yang meliputi keengganan berurusan dengan anak
kecil berantakan dengan wajah kotor ketika Maddy mengotori tangan dan melumuri
mereka berdua dengan kue ulang tahun, saya rasa patut diacungi jempol.
Saya
setuju dengan beberapa komentar teman yang hampir sama. Buku ini mengajak kita
tersenyum, tertawa, dan terharu sekaligus. Salah satu kutipan yang saya suka
dari Matt, “..setiap orang mempunyai cara tersendiri untuk
mengatasi kedukaannya masing-masing.” Tapi bukan berarti kita harus terus
tenggelam dalam kedukaan tersebut. Dan terakhir, hal yang paling manis menurut
saya yang dilakukan Matt adalah “ritual” yang dilakukannya setiap malam sejak
Madeline Elizabeth Logelin dilahirkan. Mencium ujung jarinya dua kali dan
menyentuhkan ke dahi Maddy. Satu kecupan dari Matt, dan satu dari ibunya, Liz.
Satu kecupan untuk apa yang bisa saja terjadi, dan satu lagi untuk apa yang
akan terjadi.
No comments:
Post a Comment